Indonesia memasuki sebuah tahapan baru
dalam dunia informasi dan komunikasi. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang telah memulai
babak baru dalam tata cara pengaturan beberapa sistem komunikasi melalui media
internet. Hal itu di lakukan oleh Indonesia melalui pemerintah yang bekerjasama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat sebuah draft atau aturan dalam
bidang komunikasi yang tertuang dalam RUU ITE atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik.
1. Arti dibalik
definisi Informasi Elektronik
2. Informasi dan/atau Dokumen Elektronik
bukan Bukti Tertulis.
3. Keadaan memaksa dalam Pasal 15 ayat 3
UU ITE.
4. Kejahatan dengan Virus Komputer.
a. Tidak berbahaya.
5. Keamanan ITE vs Kejahatan ITE
Pasal 12 ayat 1 :
Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem
Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhada beroperasinya
Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
6. Tidak semua
Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah.
7. Kasus
mengenai Perbuatan yang Dilarang dalam UU ITE.
Dari kasus di atas, perbuatan si A dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU ITE sebagai berikut:
8. Perbuatan
yang Dilarang pada penggunaan Handphone.
UU ITE juga memuat ketentuan pidana, untuk pasal 27 sampai pasal 29 terkait dengan ketentuan pidana pada pasal 45.
Pasal 36 terkait dengan ketentuan pidana pasal 51 ayat 2
9. Peranan Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik.
10. Hubungan UU
ITE No.11 dengan HAM dan Tujuan Negara
RI.
11. UU ITE dan kebebasan Pers.
12. Sembilan Peraturan Pemerintah dan
Dua Lembaga yang baru untuk UU ITE.
Tepat
pada tanggal 25 Maret telah disahkan menjadi UU oleh DPR. Dalam kenyataannya UU
tersebut tinggal menunggu waktu untuk dapat diberlakukan. UU ini dimaksudkan
untuk menjawab permasalahan hukum yang seringkali dihadapi diantaranya dalam
penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik,
khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang
dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Hal tersebut adalah sebuah langkah maju yang di tempuh oleh pemerintah
dalam penyelenggaraan layanan informasi secara online yang mencakup beberapa
aspek kriteria dalam penyampaian informasi.
1. Arti dibalik
definisi Informasi Elektronik
Pasal 1 UU ITE mencantumkan diantaranya definisi
Informasi Elektronik. Berikut kutipannya :” Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.”
Dari definisi Informasi Elektronik di atas memuat
3 makna diantaranya :
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik
2. Informasi Elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara, gambar.
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik
2. Informasi Elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara, gambar.
3.
Informasi Elektronik memiliki arti atau dapat dipahami.
Jadi, informasi elektronik adalah data elektronik
yang memiliki wujud dan arti. Informasi Elektronik yang tersimpan di dalam
media penyimpanan bersifat tersembunyi. Informasi Elektronik dapat dikenali dan
dibuktikan keberadaannya dari wujud dan arti dari Informasi Elektronik.
2. Informasi dan/atau Dokumen Elektronik
bukan Bukti Tertulis.
Pasal 5 dikatakan disana :
1.
Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah.
2.
Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
3.
Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
4.
Ketentuan
mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a) surat yang menurut Undang-Undang harus
dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) surat beserta dokumennya yang menurut
Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh
pejabat pembuat akta.
Berdasarkan Pasal 5 UU ITE, bisa
ditarik kesimpulan bahwa :
1. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
merupakan alat bukti yang baru dan sah
2. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
bukan bukti tertulis seperti pasal 1866 KUHPerdata. Hal ini telah ditegaskan
pada Pasal 5 ayat 4 bagian a.
3. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
merupakan alat bukti yang sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai
ketentuan UU ITE.
4. Hasil cetak informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik juga sah apabila berasal dari sistem elektronik sesuai ketentuan UU
ITE.
Dari hal di atas perdebatan selama ini diantara beberapa pengamat hukum,
praktisi hukum, akademisi bidang hukum tentang ”Apakah informasi elektronik
dapat dikategorikan sebagai akta otentik atau tulisan di bawah tangan?” menjadi
tidak tepat untuk diperdebatkan, karena akta otentik dan tulisan di bawah
tangan merupakan bukti tertulis, sedangkan Informasi dan/atau dokumen
elektronik bukan bukti tertulis.
Pada berbagai diskusi lewat internet menunjukkan pendapat yang berbeda. Salah
satu pendapat mengatakan bahwa hasil cetak yang dimaksudkan pasal 5 ayat 1 UU
ITE merupakan bukti tertulis. Hasil cetak merupakan perwujudan/penampakan dari informasi dan/atau dokumen elektronik
yang tersimpan secara elektronik misalnya tersimpan di harddisk. Informasi yang
tersimpan secara elektronik harus dapat dibuktikan
keberadaannya dengan cara menampilkannya ke monitor komputer atau
dicetak lewat printer tampil di kertas. Dengan demikian, informasi elektronik
itu dapat dilihat dengan kasat mata dan diketahui keberadaannya. Jadi, hasil
cetak merupakan bukti elektronik dalam wujud tertulis.
3. Keadaan memaksa dalam Pasal 15 ayat 3
UU ITE.
Pasal 15 ayat 3 terkait dengan Pasal 15 ayat 2.
Berikut ini isi ayat 2 dan ayat 3:
ayat 2 :” Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya”
ayat 3 :” Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam
ayat 2 :” Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya”
ayat 3 :” Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam
hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan,
dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem
Elektronik”
Dari Pasal 15 ayat 2 dan ayat 3 menunjukkan bahwa Penyelenggara Sistem
Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya
kecuali terjadi keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna
Sistem Elektronik. Keadaan memaksa
yang manakah dimaksud dalam Pasal 15 ayat 3 adalah Keadaan memaksa yang dialami oleh pengguna Sistem
Elektronik. Berikut ini satu cerita singkat untuk memperjelas keadaan memaksa
yang dimaksud.
Si A sebagai pemilik kartu ATM dari Bank X. Suatu
hari, si A ke Bank X untuk mengambil sejumlah uang tunai menggunakan kartu ATM
yang dimilikinya. Saat berada di dalam bilik ATM, si A berada di bawah ancaman
seseorang. Dalam keadaan memaksa, si
A mentransfer sejumlah uang dari rekening yang dimilikinya ke rekening yang
ditunjuk oleh si pengancam. Dari cerita ini, Bank X sebagai penyelenggara
Sistem Elektronik tidak dapat dipersalahkan dan tidak bertanggungjawab atas
transfer uang yang terjadi.
4. Kejahatan dengan Virus Komputer.
Virus komputer dibuat oleh manusia dan disebarkan/diproduksi
oleh mesin komputer. Bila aparat penegak hukum mampu untuk menangkap si pembuat
virus dan membuktikan kejahatannya, maka pasal 32 ayat 1, pasal 33
dan pasal 36 (mengakibatkan kerugian) dapat digunakan untuk menjerat si pembuat
virus. Tentunya, Hakim dalam memutuskan perkara perlu mempertimbangkan tingkat
gangguan/akibat yang timbul dari jenis virus yang disebarkan. Virus dapat
diklasifikasikan yaitu :
a. Tidak berbahaya.
Virus ini menyebabkan berkurangnya ruang disk
untuk menyimpan data sebagai akibat dari perkembangbiakannya.
b. Agak berbahaya.
Virus ini menyebabkan ruang disk penuh dan mengurangi fungsi lainnya
seperti kecepata proses.
c. Berbahaya.
c. Berbahaya.
Virus ini dapat mengakibatkan kerusakan atau
gangguan yang parah termasuk kerusakan
data dan sistem elektronik yang diselenggarakan.
Meskipun seseorang bukan sebagai pembuat virus,
tetapi dia dapat memanfaatkan virus komputer untuk merusak informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik milik orang lain. Jika memang ada unsur kesengajaan
untuk melakukan kejahatan seperti pada motif ini, maka terhadap si pelaku dapat
dijerat dengan pasal 32 ayat 1, Pasal 33 dan pasal 36 UU ITE.
Pada kasus lain, seseorang misalnya si A tanpa sengaja/tidak
mengetahui misalnya isi flash disk yang dimilikinya mengandung virus (sudah
dicek dengan program antivirus), lalu memakai flash disk itu di komputer milik
si B dan atas seizin si B lalu terjadi pengrusakan data oleh virus maka
si A tidak dapat dijerat dengan pasal 32 ayat 1, pasal 33 dan pasal 36 UU ITE.
Jadi, meskipun virus diproduksi oleh mesin
komputer, tetapi ada orang di balik penyebaran virus komputer, bisa sebagai
pembuat virus atau penyebar virus dengan sengaja untuk merugikan orang lain.
Mesin komputer yang memproduksi virus komputer hanya sebagai alat bantu untuk
melaksanakan pembuatan dan/atau penyebaran virus, bukan pelaku kejahatan.
5. Keamanan ITE vs Kejahatan ITE
Keamanan ITE telah disinggung
pada beberapa pasal dalam UU ITE, berikut ini pasal-pasal yang dimaksudkan.
Pasal 12 ayat 1 :
Setiap Orang yang terlibat dalam
Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya.
Pasal 15 ayat 1 :
Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem
Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhada beroperasinya
Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
Dari kedua pasal itu, jelas UU ITE mengharuskan
atau mewajibkan sistem elektronik yang diselenggarakan termasuk penggunaan
tanda tangan elektronik berlangsung dengan aman.Kenyataan, masih banyak
transaksi elektronik yang berlangsung tidak menggunakan sistem elektronik yang
aman.
Oleh karena itu, ketika dalam suatu perkara di
pengadilan yang terkait pelanggaran berupa pengrusakan informasi dan/atau
dokumen elektronik serta sistem elektronik seperti tertuang dalam Pasal 30-33
dan Pasal 35, maka Hakim harus mempertimbangkan dua sisi, yaitu:
1.Perbuatan si pelaku kejahatan yang mengakibatkan kerugian.
2.Keamanan Sistem Elektronik yang diselenggarakan.
1.Perbuatan si pelaku kejahatan yang mengakibatkan kerugian.
2.Keamanan Sistem Elektronik yang diselenggarakan.
Hakim dalam membuat Putusan Pidana dapat
mengenakan denda dan/atau hukuman penjara kepada si pelaku kejahatan dalam
kadar yang mungkin lebih ringan ketika perbuatan dari si pelaku kejahatan
berlangsung pada sistem elektronik yang lemah dari segi keamanan. Oleh karena
itu, UU ITE mendorong bagi para pelaku bisnis, atau siapa saja yang melakukan
transaksi elektronik untuk sungguh-sungguh memperhatikan persyaratan minimun
keamanan sistem elektronik yang diselenggarakan seperti termuat dalam Pasal 16
yakni:
Pasal 16 ayat 1 :
Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang
tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem
Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
1.
Dapat
menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara
utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan Perundang
Undangan, melindungi ketersediaan,
keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut;
2.
Dapat
beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraa Sistem
Elektroniktersebut, Dilengkapi dengan
prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi.atau
simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut; dan Memiliki mekanisme yang berkelanjutan
untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
6. Tidak semua
Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) memiliki asas diantaranya netral teknologi atau kebebasan memilih
teknologi. Hal ini termasuk memilih jenis tanda tangan elektronik yang
dipergunakan untuk menandatangani suatu informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik.Asas netral teknologi dalam UU ITE perlu dipahami secara
berhati-hati, dan para pihak yang melakukan transaksi elektronik sepatutnya
menggunakan tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum dan
akibat hukum yang sah seperti diatur dalam pasal 11 ayat 1 UU
ITE.Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah
selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Data
pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan
2.
Data
pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan Elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda
Tangan
3.
Segala
perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui
4.
Segala
perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan
Elektronik tersebut setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui
5.
Terdapat cara
tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya, danTerdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa
Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tanda
Tangan Elektronik yang dapat di-download di situs cahyana-ahmadjayadi.web.id
atau situs lainnya. Pasal 1 memuat diantaranya : ”Tangan Tangan Elektronik
adalah informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau
terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain yang dibuat oleh penandatangan
untuk menunjukkan identitas dan statusnya sebagai subyek hukum, termasuk dan tidak
terbatas pada penggunaan infrastruktur kunci publik (tanda tangan digital),
biometrik, kriptografi simetrik, termasuk di dalamnya tanda tangan dalam bentuk
asli yang diubah menjadi data elektronik”
Yang menjadi pertanyaan penting adalah : Apakah
tanda tangan dalam bentuk asli yang diubah menjadi data elektronik memiliki kekuatan hukum
dan akibat hukum yang sah? Jika tanda tangan asli serta informasi yang ditanda tangani di atas kertas
diubah ke data elektronik dengan peralatan scanner, maka cara ini tidak
memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Berikut penjelasannya:
Pertama:
Perlu dipahami dengan baik bahwa tanda tangan bertujuan untuk menyatakan persetujuan atas informasi yang disepakati oleh para pihak yang bertransaksi, dan mengidentifikasi siapa yang menandatangani.
Perlu dipahami dengan baik bahwa tanda tangan bertujuan untuk menyatakan persetujuan atas informasi yang disepakati oleh para pihak yang bertransaksi, dan mengidentifikasi siapa yang menandatangani.
Kedua:
Ada perbedaan tanda tangan dan informasi yang ditanda tangani antara di atas kertas dan secara elektronik. Kertas menjadi perekat antara tanda tangan dan informasi yang ditanda tangani, jika terjadi perubahan pada tanda tangan atau informasi yang ditanda tangani maka perubahan itu mudah dikenali misalnya adanya coretan. Secara elektronik, bisa saja seseorang yang berniat jahat mengganti informasi elektronik yang telah ditanda tangani oleh para pihak dengan informasi elektronik lain tetapi tanda tangan tidak berubah. Celakanya, pada data elektronik perubahan ini mudah terjadi dan tidak mudah dikenali. Oleh karena itu, tanda tangan elektronik harus terasosiasi dengan informasi elektronik yang ditanda tangani seperti dimaksudkan pada Pasal 1 UU ITE untuk definisi Tanda Tangan Elektronik.
Ada perbedaan tanda tangan dan informasi yang ditanda tangani antara di atas kertas dan secara elektronik. Kertas menjadi perekat antara tanda tangan dan informasi yang ditanda tangani, jika terjadi perubahan pada tanda tangan atau informasi yang ditanda tangani maka perubahan itu mudah dikenali misalnya adanya coretan. Secara elektronik, bisa saja seseorang yang berniat jahat mengganti informasi elektronik yang telah ditanda tangani oleh para pihak dengan informasi elektronik lain tetapi tanda tangan tidak berubah. Celakanya, pada data elektronik perubahan ini mudah terjadi dan tidak mudah dikenali. Oleh karena itu, tanda tangan elektronik harus terasosiasi dengan informasi elektronik yang ditanda tangani seperti dimaksudkan pada Pasal 1 UU ITE untuk definisi Tanda Tangan Elektronik.
”Tangan Tangan Elektronik adalah informasi elektronik yang dilekatkan,
terasosiasi atau terkait dengan suatu informasi elektronik lain yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”
Yang dimaksudkan terasosiasi adalah informasi
elektronik yang ingin ditanda tangani menjadi data pembuatan tanda tangan
elektronik. Dengan demikian, antara tanda tangan elektronik dan informasi
elektronik yang ditanda tangani menjadi erat hubungannya seperti fungsi kertas.
Keuntungannya adalah jika terjadi perubahan informasi elektronik yang sudah
ditanda tangani maka tentu tanda tangan elektronik juga seharusnya berubah.
Misalkan seseorang berniat jahat melakukan perubahan informasi elektronik yang
sudah ditanda tangani dengan informasi elektronik yang lain tetapi tanda tangan
elektronik tidak berubah, maka hal ini mudah diketahui. Caranya? Coba buat
tanda tangan elektronik dari informasi elektronik yang telah berubah dan
bandingkan dengan tanda tangan elektronik yang ada, tentu hasilnya beda, dan
ini menunjukkan bahwa informasi elektronik yang ditanda tangani telah mengalami
perubahan.
Ketiga:
Jika kita simak pasal 11 ayat 1 bagian c dan d, mewajibkan adanya metode untuk mengetahui segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dan mengetahui segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan. Perubahan itu dapat diketahui hanya apabila informasi elektronik menjadi data pembuatan tanda tangan elektronik.
Jika kita simak pasal 11 ayat 1 bagian c dan d, mewajibkan adanya metode untuk mengetahui segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dan mengetahui segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan. Perubahan itu dapat diketahui hanya apabila informasi elektronik menjadi data pembuatan tanda tangan elektronik.
Keempat:
Bagaimana dengan tanda tangan asli serta informasi yang ditanda tangani di kertas diubah ke data elektronik dengan peralatan scanner, apakah memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah? Tentu tidak memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah, karena tanda tangan itu tidak dibuat berdasarkan informasi yang disepakati atau dengan kata lain informasi yang disepakati tidak menjadi data pembuatan tangan tangan, sehingga perubahan tanda tangan elektronik dan/atau informasi elektronik setelah waktu penandatanganan tidak dapat diketahui.
Bagaimana dengan tanda tangan asli serta informasi yang ditanda tangani di kertas diubah ke data elektronik dengan peralatan scanner, apakah memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah? Tentu tidak memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah, karena tanda tangan itu tidak dibuat berdasarkan informasi yang disepakati atau dengan kata lain informasi yang disepakati tidak menjadi data pembuatan tangan tangan, sehingga perubahan tanda tangan elektronik dan/atau informasi elektronik setelah waktu penandatanganan tidak dapat diketahui.
Jadi, tidak semua tanda tangan
elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah.
7. Kasus
mengenai Perbuatan yang Dilarang dalam UU ITE.
Selain memuat ketentuan mengenai penyelenggaraan
sistem elektronik untuk mendukung informasi dan transaksi elektronik, UU ITE
juga memuat pasal-pasal mengenai Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana.
Perbuatan yang Dilarang termuat pada pasal 27 – 37, sedangkan Ketentuan Pidana
pada pasal 45 – 52. Pidana dapat berupa pidana penjara dan/atau denda.
Pada bagian ini satu contoh kasus yang terkait
dengan perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. Dengan contoh ini diharapkan kita dapat dapat mengambil
pelajaran penting dari pasal-pasal terkait Perbuatan yang Dilarang dan
Ketentuan Pidana.
Contoh kasus:
” Si A adalah pemilik rental VCD
berbagai macam film. Suatu hari, dia mendapatkan kiriman satu VCD dari
seseorang yang tidak dikenal. Isi VCD berupa video singkat yang memuat
permainan sex sepasang suami-isteri. Dalam cerita ini, si suami isteri itu
sengaja membuat video tersebut untuk kepentingan pribadi bukan untuk
dipublikasikan, tapi entah bagaimana video itu jatuh ke tangan orang lain (si
A). Kemudian, si A meng-copy video itu ke dalam beberapa VCD, lalu menyebarkan
atau menjualnya. Pekerjaan Si A tidak hanya menjual VCD, si A juga memiliki
kegemaran untuk merekayasa foto-foto artis menjadi tampak dalam pose bugil,
malahan si A memiliki website yang dirancangnya sendiri untuk menfasilitasi
pemuatan video dan gambar-gambar pornografi baik gambar asli atau gambar
rekayasa”.
Dari kasus di atas, perbuatan si A dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU ITE sebagai berikut:
1. Perbuatan si A dengan sengaja dan tanpa hak telah
mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik berupa video
singkat yang melanggar kesusilaan. Untuk itu Pasal 27 ayat 1 akan menjerat si A.
Pasal 27 ayat 1 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Pasal 27 ayat 1 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
2. Perbuatan si A melakukan manipulasi terhadap
informasi elektronik berupa foto artis untuk diubah menjadi foto dalam pose
bugil. Tujuan dari manipulasi ini adalah mencemarkan nama baik artis dan
membuat foto hasil rekayasa seolah-olah otentik/asli.
Untuk itu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 35 akan menjerat pula si A.
Pasal 27 ayat 3 :
Untuk itu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 35 akan menjerat pula si A.
Pasal 27 ayat 3 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”.
Pasal 35 :
Pasal 35 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan,
pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah
data yang otentik”.
3.
Perbuatan si
A mengakibatkan kerugian bagi suami isteri dan artis. Si suami isteri membuat
video itu untuk kepentingan pribadi bukan untuk dipublikasikan. Si artis
memiliki foto asli tidak dalam pose bugil, tapi karena ulah si A, foto asli
diubah menjadi foto rekayasa dalam pose bugil.Untuk itu Pasal 36 akan menjerat
pula si A.
Pasal 36 :
Pasal 36 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”.
4.
Perbuatan si
A mengadakan perangkat lunak berupa website yang bertujuan untuk menfasilitasi
pendistribusian foto/gambar bersifat pornografi.
Untuk itu Pasal 34 ayat 1 bagian a akan menjerat pula si A.
Untuk itu Pasal 34 ayat 1 bagian a akan menjerat pula si A.
Pasal 34 ayat 1 bagian a :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan,
atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau
secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33”.
Dari
pasal-pasal yang dapat menjerat si A maka ketentuan pidana yang terkait termuat
pada pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 45 ayat 1 :
Pasal 45 ayat 1 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat(1),
ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”
Pasal 50 :
Pasal 50 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Pasal 51 ayat 1 :
Pasal 51 ayat 1 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar
rupiah)”
Pasal 51 ayat 2 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”
8. Perbuatan
yang Dilarang pada penggunaan Handphone.
Pasal 1 UU ITE menyebutkan diantaranya ”Transaksi
Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer,
jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Ini berarti, Handphone
sebagai media elektronik lainnya juga termasuk dalam UU ITE. Handphone
digunakan untuk komunikasi dan penggunanya dari berbagai kalangan, dari
anak-anak sampai orang tua. Beberapa layanan yang tersedia diantaranya SMS
(Short Message Services) digunakan untuk menyampaikan pesan singkat kepada
seseorang untuk berbagai kepentingan. Kita masih ingat begitu banyak kasus seputar penggunaan Handphone. Berikut
ini beberapa kasus yang berkaitan dengan layanan SMS dan MMS (Multi Media
Services) :
1.
Penyebaran
gambar atau video (informasi elektronik) yang memuat pelanggaran kesusilaan
seperti penyebaran video porno dengan sengaja ke kalangan pelajar yang
berakibat merusak moral generasi bangsa.
2.
Pengiriman
pesan yang memuat perjudian.
3.
Pengiriman
pesan yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik seseorang seperti
tuduhan perbuatan asusila tanpa bukti dengan maksud untuk membunuh karakter
kepribadian seseorang dan mencemarkan nama baiknya yang dapat mengakibatkan
gangguan terhadap kehidupan keluarga dan pekerjaannya.
4.
Pengiriman
pesan yang memuat ancaman seperti ancaman untuk meledakkan bom di suatu tempat.
5.
Pengiriman
pesan yang memuat berita bohong dan menyesatkan seperti pesan yang bersifat
menipu dengan memberitahukan kepada seseorang bahwa dia telah memenangkan
undian dari salah satu perusahaan terkemuka di Jakarta dan meminta untuk
mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening tertentu sebagai biaya pengiriman
hadiah.
6.
Pengiriman
pesan yang sifatnya menghasut suku atau penganut agama tertentu dengan maksud
menyebarkan kebencian atau permusuhan di masyarakat.
7.
Pengiriman
pesan yang memuat ancaman kekerasan yang ditujukan secara pribadi seperti
mengancam untuk membunuh si penerima pesan.
Terhadap setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mengirim pesan atau informasi elektronik seperti diuraikan di atas, maka orang
itu akan dijerat dengan pasal-pasal Perbuatan yang Dilarang dalam UU ITE, yaitu
pasal 27 sampai pasal 29.
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (terkait dgn kasus 1)
(2) Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan perjudian. (terkait dgn kasus 2)
(3) Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (terkait dgn
kasus 3)
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman.(terkait dgn kasus 4)
Pasal 28
(1) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (terkait
dgn kasus 5)
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). (terkait dgn kasus 6)
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. (terkait dgn kasus 7)
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. (terkait dgn kasus 7)
UU ITE juga memuat ketentuan pidana, untuk pasal 27 sampai pasal 29 terkait dengan ketentuan pidana pada pasal 45.
Pasal45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Jika kasus yang
diuraikan di atas (point 1 s/d 7) menimbulkan kerugian bagi orang lain,
misalnya dengan penyebaran informasi/pesan yang memuat pencemaran nama baik
seseorang mengakibatkan orang itu kehilangan jabatan atau pekerjaan, maka
terhadap orang yang menyebarkan pesan itu akan dijerat pula dengan pasal 36.
Pasal 36
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi
Orang lain.
Pasal 36 terkait dengan ketentuan pidana pasal 51 ayat 2
Pasal 51 ayat
2.
Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
9. Peranan Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik.
Peranan
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dalam UU ITE hanya sebatas untuk
memberikan dukungan teknis yang terkait dengan pembuatan tanda tangan
elektronik. Peranan yang dimaksud diantaranya:
a. Menerbitkan Sertifikat Elektronik, tercantum pada Pasal 1
a. Menerbitkan Sertifikat Elektronik, tercantum pada Pasal 1
Pasal
1, diantaranya memuat:
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
b. Memastikan keterkaitan antara tanda tangan
elektronik dengan pemiliknya sebagai subjek hukum yang bertanda tangan, hal ini
terkait dengan pasal 1 di atas, dan pasal ayat
2
Pasal 13 ayat 2 :
Pasal 13 ayat 2 :
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keterkaitan suatu
Tanda Tangan Elektronik dengan pemiliknya.
Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam
UU ITE, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik memiliki kemampuan untuk dapat
memastikan keterkaitan antara tanda tangan elektronik dengan informasi dan/atau
dokumen elektronik yang ditanda tangani, karena tanda tangan elektronik
terasosiasi dengan informasi elektronik yang ditanda tangani. Hal ini terkait dengan pasal 1 tentang tanda tangan
elektronik.
Pasal 1 diantaranya memuat :
Pasal 1 diantaranya memuat :
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi
Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi
Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Ada dua hal yang perlu dipahami dengan hati-hati
sehubungan dengan peranan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, yaitu:
1. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik tidak memiliki tugas dan kewenangan untuk memeriksa substansi informasi dan/atau dokumen elektronik yang ditanda tangani oleh para pihak yang bertransaksi, apakah bertentangan dengan peraturan yang ada. Tugas dari Penyelenggara Sertifikasi Elektronik hanya sebatas dukungan teknis terkait dengan pembuatan tanda tangan elektronik.
2. Terkait dengan pasal 1, tanda tangan elektronik digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Verifikasi yang dimaksud tidak terkait dengan substansi informasi elektronik yang ditandatangani. Tanda tangan elektronik digunakan untuk menguji apakah informasi elektronik yang ditanda tangani mengalami perubahan selama ditransmisikan. Jika mengalami perubahan maka informasi elektronik itu dianggap tidak sah karena tidak dijamin keutuhannya. Ketentuan ini terkait dengan pasal 6 UU ITE.
1. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik tidak memiliki tugas dan kewenangan untuk memeriksa substansi informasi dan/atau dokumen elektronik yang ditanda tangani oleh para pihak yang bertransaksi, apakah bertentangan dengan peraturan yang ada. Tugas dari Penyelenggara Sertifikasi Elektronik hanya sebatas dukungan teknis terkait dengan pembuatan tanda tangan elektronik.
2. Terkait dengan pasal 1, tanda tangan elektronik digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Verifikasi yang dimaksud tidak terkait dengan substansi informasi elektronik yang ditandatangani. Tanda tangan elektronik digunakan untuk menguji apakah informasi elektronik yang ditanda tangani mengalami perubahan selama ditransmisikan. Jika mengalami perubahan maka informasi elektronik itu dianggap tidak sah karena tidak dijamin keutuhannya. Ketentuan ini terkait dengan pasal 6 UU ITE.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4)
yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli,
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.
10. Hubungan UU
ITE No.11 dengan HAM dan Tujuan Negara
RI.
Berbagai diskusi dan pernyataan di Internet
mempersoalkan tentang UU ITE No. 11 Tahun 2008. Pendapat yang berbeda muncul,
termasuk keinginan beberapa kalangan agar UU No. 11 Tahun 2008 direvisi dengan
berbagai alasan dan pertimbangan.Pada bagian ini, penulis mengungkapkan
beberapa pemikiran yang dapat memberikan pencerahan bagi kita semua untuk
memandang UU ITE No. 11 Tahun 2008 secara komprehensif dari berbagai sudut
pandang dan memposisikan diri kita sebagai anak bangsa yang peduli terhadap
kemajuan bangsa Indonesia.
Pertama:
Pertanyaan: Apa tujuan dari Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008? Bagaimana kaitannya dengan tujuan Negara RepublikIndonesia?: Tujuan dari Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008 tercantum pada Pasal 4, yaitu:
Pertanyaan: Apa tujuan dari Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008? Bagaimana kaitannya dengan tujuan Negara RepublikIndonesia?: Tujuan dari Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008 tercantum pada Pasal 4, yaitu:
1. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia;
2. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian
nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan
publik;
4. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap
Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan
pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
5. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian
hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Tujuan
di atas sejalan dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diantaranya “mencerdaskan kehidupan bangsa
dan memajukan kesejahteraan umum”. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pembentukan
UU ITE No. 11 tahun 2008 konsisten dengan tujuan Negara Republik Indonesia.
Kedua:
Pertanyaan: Apakah semua informasi elektronik dapat meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum?
Pertanyaan: Apakah semua informasi elektronik dapat meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum?
Jawab : Tidak semua informasi elektronik dapat meningkatkan kecerdasan
kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Informasi elektronik terbagi
dalam dua kategori yaitu informasi elektronik yang berkualitas dan informasi
elektronik yang tidak berkualitas. Yang dapat meningkatkan kecerdasan kehidupan
bangsa dan memajukan kesejahteraan umum hanya informasi elektronik yang
berkualitas, yaitu informasi yang mendorong pengembangan potensi bangsa di berbagai
bidang kehidupan menuju bangsa yang sejahtera dan cerdas, serta mampu bersaing
dengan bangsa lain.
Ketiga:
Bagaimana dengan jenis Informasi Elektronik yang tidak berkualitas? Apa contohnya? Jenis informasi elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pencapaian tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Informasi elektronik yang tidak berkualitas bermuatan negatif seperti pelanggaran kesusilaan, perjudian, menghina dan mencemarkan nama baik seseorang, pemerasan dan/atau pengancaman, berita bohong dan menyesatkan, menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan.
Keempat:
Bagaimana menggambarkan kebebasan mengakses informasi elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pencapaian tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat? Gambarannya sederhana saja. Indonesia adalah negara yang gencar melakukan pembangunan. Salah satu upaya pemerintah dalam melaksanakan pembangunan adalah memperluas akses internet sampai ke pedesaan. Tujuannya adalah bagaimana mendorong percepatan pembangunan di pedesaan. Para petani dapat mempromosikan hasil pertanian lewat internet. Murid sekolah dapat memperoleh banyak ilmu pengetahuan lewat internet.Para pejabat pemerintah dapat mengawasi bawahannya dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat lewat pemanfaatan internet, dan masih banyak manfaat lainnya.
Ketiga:
Bagaimana dengan jenis Informasi Elektronik yang tidak berkualitas? Apa contohnya? Jenis informasi elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pencapaian tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Informasi elektronik yang tidak berkualitas bermuatan negatif seperti pelanggaran kesusilaan, perjudian, menghina dan mencemarkan nama baik seseorang, pemerasan dan/atau pengancaman, berita bohong dan menyesatkan, menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan.
Keempat:
Bagaimana menggambarkan kebebasan mengakses informasi elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pencapaian tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat? Gambarannya sederhana saja. Indonesia adalah negara yang gencar melakukan pembangunan. Salah satu upaya pemerintah dalam melaksanakan pembangunan adalah memperluas akses internet sampai ke pedesaan. Tujuannya adalah bagaimana mendorong percepatan pembangunan di pedesaan. Para petani dapat mempromosikan hasil pertanian lewat internet. Murid sekolah dapat memperoleh banyak ilmu pengetahuan lewat internet.Para pejabat pemerintah dapat mengawasi bawahannya dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat lewat pemanfaatan internet, dan masih banyak manfaat lainnya.
Jadi, tujuan Pemerintah untuk memperluas akses informasi lewat internet
sampai ke pedesaan untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat di
pedesaan.
Meskipun demikian, tujuan itu dapat tidak tercapai apabila masyarakat pedesaan dominan mengakses informasi elektronik yang tidak berkualitas.
Meskipun demikian, tujuan itu dapat tidak tercapai apabila masyarakat pedesaan dominan mengakses informasi elektronik yang tidak berkualitas.
Coba kita bayangkan, bagaimana jika sekelompok murid sekolah mengakses
situs porno atau bermain judi lewat internet, Apakah hal ini membuat masyarakat
pedesaan menjadi cerdas dan sejahtera? Apakah perbuatan menyebarkan informasi
elektronik yang bermuatan berita bohong, pemerasan, pengancaman, penghinaan,
pencemaran nama baik termasuk perbuatan mengarah pada peningkatan kecerdasan
dan kesejahteraan rakyat? Dengan akal sehat, kita dapat menjawab bahwa
perbuatan itu tidak mengarah pada peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan
rakyat.
Kelima:
Kelima:
Bagaimana pembatasan akses informasi elektronik yang tidak berkualitas
dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008? Dalam UU
ITE No. 11 thn 2008 pada Pasal 27 dan 28 telah melarang setiap
orang untuk menyebarkan informasi elektronik yang tidak berkualitas, dan
memberikan sanksi pidana penjara dan/atau denda kepada setiap orang yang
melanggar.
Pasal 27
1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
perjudian.
3. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
4. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman.
Pasal 28
1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik.
2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 45
1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Keenam:
Pertanyaan: Apakah pasal 27 dan pasal 28 dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945?Justru Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 thn 2008 mendorong penegakan HAM. Mari kita simak pasal 28F dalam UUD 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”Penulis ingin mengajukan pertanyaan kepada pembaca untuk direnungkan.
Pertanyaan: Apakah pasal 27 dan pasal 28 dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945?Justru Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 thn 2008 mendorong penegakan HAM. Mari kita simak pasal 28F dalam UUD 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”Penulis ingin mengajukan pertanyaan kepada pembaca untuk direnungkan.
Apakah
informasi elektronik yang tidak berkualitas seperti bermuatan pencemaran nama
baik, penghinaan, pelanggaraan kesusilaan, pengancaman merupakan informasi
elektronik yang dapat mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial. Sementara
kebebasan untuk mengakses informasi elektronik yang berkualitas mendorong
pengembangan pribadi dan lingkungan sosial. Jadi Pasal 27 dan Pasal 28 sudah
tepat dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 untuk memberantas informasi elektronik
yang tidak berkualitas agar masyarakat dapat lebih mengakses informasi
elektronik yang berkualitas untuk menunjang pengembangan pribadi dan lingkungan
sosialnya.
Ketujuh:
Pertanyaan: Apa argumentasi yang tepat bahwa informasi elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pengembangan pribadi dan lingkungan sosial? Argumentasinya cukup sederhana. Indonesia memiliki lingkungan sosial yang kental dengan kultur ketimuran yaitu masyarakat agamis. Tidak ada satu pun agama yang membolehkan seseorang untuk melakukan perbuatan menyebarkan informasi yang bermuatan penghinaan, pencemaran nama baik seseorang, pengancaman, pemerasan, fitnah, perjudian, pornografi. Informasi elektronik yang tidak berkualitas merusak moral generasi bangsa.
Kedelapan:
Pertanyaan: Bagaimana mengaitkan UU ITE, HAM, Jenis Informasi Elektronik dan Tujuan Negara Republik Indonesia? Keterkaitannya berangkat dari tujuan Negara R.I untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
Pertanyaan: Apa argumentasi yang tepat bahwa informasi elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pengembangan pribadi dan lingkungan sosial? Argumentasinya cukup sederhana. Indonesia memiliki lingkungan sosial yang kental dengan kultur ketimuran yaitu masyarakat agamis. Tidak ada satu pun agama yang membolehkan seseorang untuk melakukan perbuatan menyebarkan informasi yang bermuatan penghinaan, pencemaran nama baik seseorang, pengancaman, pemerasan, fitnah, perjudian, pornografi. Informasi elektronik yang tidak berkualitas merusak moral generasi bangsa.
Kedelapan:
Pertanyaan: Bagaimana mengaitkan UU ITE, HAM, Jenis Informasi Elektronik dan Tujuan Negara Republik Indonesia? Keterkaitannya berangkat dari tujuan Negara R.I untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
1. UUD 1945 telah mengatur Hak Asasi Manusia (HAM)
untuk memperoleh dan menyebarkan informasi yang dapat mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosial. Akses informasi elektronik yang berkualitas mengarah pada
pengembangan pribadi, lingkungan sosial dan pencapaian tujuan Negara R.I. Akses
informasi elektronik yang tidak berkualitas tidak mengarah pada pengembangan
pribadi, lingkungan sosial dan pencapaian tujuan Negara R.I.
2. UU ITE No. 11 tahun 2008 memberikan ruang yang
seluas-luasnya bagi kemerdekaan berpendapat dan kebebasan untuk mengakses
informasi elektronik yang berkualitas dan melarang untuk mengakses informasi
elektronik yang tidak berkualitas.
Kesembilan:
Pertanyaan: Sudah banyak diskusi dan pernyataan yang menginginkan untuk revisi UU ITE No. 11 Tahun 2008 terutama terkait dengan soal HAM tentang kebebasan mengakses informasi, bagaimana dgn masalah ini? Pada dasarnya keinginan untuk merevisi UU ITE No. 11 tahun 2008 merupakan hak setiap orang. Tapi sayangnya, beberapa orang yang menginginkan revisi terhadap UU ITE No. 11 tahun 2008 bersandar pada pemahaman yang kurang baik tentang pencapaian tujuan Negara Republik Indonesia. Beberapa pendapat mengatakan bahwa kebebasan untuk mengakses informasi sudah dikebiri oleh UU ITE No. 11 tahun 2008 dan melanggar HAM.
Pertanyaan: Sudah banyak diskusi dan pernyataan yang menginginkan untuk revisi UU ITE No. 11 Tahun 2008 terutama terkait dengan soal HAM tentang kebebasan mengakses informasi, bagaimana dgn masalah ini? Pada dasarnya keinginan untuk merevisi UU ITE No. 11 tahun 2008 merupakan hak setiap orang. Tapi sayangnya, beberapa orang yang menginginkan revisi terhadap UU ITE No. 11 tahun 2008 bersandar pada pemahaman yang kurang baik tentang pencapaian tujuan Negara Republik Indonesia. Beberapa pendapat mengatakan bahwa kebebasan untuk mengakses informasi sudah dikebiri oleh UU ITE No. 11 tahun 2008 dan melanggar HAM.
UU ITE No. 11 Tahun 2008 justru memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk
mengakses informasi elektronik tetapi untuk kategori informasi elektronik yang
berkualitas dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia. Penulis
tidak sependapat dengan kebebasan tanpa kontrol karena kita hidup dalam suatu
negara yang memiliki tujuan. Kebebasan tanpa kontrol menunjukkan suatu
pemikiran yang tidak mengarah pada pencapaian tujuan. Seseorang yang hidup
dengan tujuan, dicirikan oleh kemampuan untuk memilah dan memilih informasi
yang sepatutnya diakses dalam rangka pencapaian tujuan itu. UU ITE No. 11 Tahun
2008 sudah menampakkan perilaku itu, melindungi informasi elektronik yang
berkualitas dan melarang informasi elektronik yang tidak berkualitas. Demikian
pula, HAM dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan kebebasan penyebaran dan
pengaksesan informasi memiliki kontrol berupa tujuan untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosial.
11. UU ITE dan kebebasan Pers.
Banyak
protes dari kalangan Pers tentang keberadaan UU ITE Nomor 11 tahun 2008
terutama menyangkut pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2. Pasal tersebut
dipandang berpotensi mengancam kemerdekaan Pers, berita pers dapat disalurkan
melalui informasi elektronik (di dunia maya), terkait dengan kasus korupsi, sengketa,
politik yang dapat dinilai sebagai penyebaran pencemaran nama baik, penghinaan,
menimbulkan permusuhan atau kebencian dalam masyarakat. Berikut kutipan
pasal-pasal tersebut.
Pasal 27 ayat 3
Pasal 27 ayat 3
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 28 ayat 2
Pasal 28 ayat 2
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA).
Pada bagian ini UU ITE No. 11 Tahun 2008 terutama Pasal 27 dan Pasal 28. Kiranya melalui tulisan ini akan lebih memperjelas apa yang dikuatirkan oleh kalangan Pers dalam penyampaian berita dalam bentuk informasi elektronik.
Pada bagian ini UU ITE No. 11 Tahun 2008 terutama Pasal 27 dan Pasal 28. Kiranya melalui tulisan ini akan lebih memperjelas apa yang dikuatirkan oleh kalangan Pers dalam penyampaian berita dalam bentuk informasi elektronik.
Dunia
maya merupakan wadah komunikasi bagi siapa saja, termasuk bagi Pers untuk
menyebarkan informasi. Pers merupakan kalangan yang berkepentingan untuk
menyebarkan berita lewat internet karena sarana ini merupakan cara yang cepat
untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat dalam jangkauan yang lebih luas
dan lebih murah.Persoalannya: Apakah UU ITE No. 11 tahun 2008 pada Pasal 27 dan
Pasal 28 berpotensi membatasi kebebasan Pers dalam memberitakan suatu peristiwa
dalam bentuk informasi elektronik? Dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11
Tahun 2008 terdapat pernyataan ‘tanpa hak’.Pers memiliki hak untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik berupa Berita. Hak dari
Pers sudah jelas dinyatakan dan dilindungi dengan UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Selain menentukan Hak, UU No. 40 tahun 1999 juga menjelaskan Kewajiban Pers. Pers memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Selain menentukan Hak, UU No. 40 tahun 1999 juga menjelaskan Kewajiban Pers. Pers memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pers
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga
tak bersalah. Pers berkewajiban pula untuk melayani hak jawab sebagai bentuk
koreksi dan kontrol dari masyarakat. Wartawan harus menaati kode etik
Jurnalistik.
Beberapa Pasal dalam Kode Etik Jurnalistik diantaranya :
Beberapa Pasal dalam Kode Etik Jurnalistik diantaranya :
1. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang
menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
2. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong,
fitnah, sadis, dan cabul.
3. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan
berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar
perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
4. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan
memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf
kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
5. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak
koreksi secara proporsional.
Terkait
dengan pendistribusian atau penyebaran informasi elektronik. Sesuai amanat UU
Pers No. 40 tahun 1999, maka Pers memiliki ‘hak’ untuk mendistribusikan
informasi, penulis berpendapat, termasuk informasi elektronik. Jika timbul
tuduhan bahwa berita dalam bentuk informasi elektronik yang disampaikan oleh
Pers mengandung unsur pencemaran nama baik, penghinaan, menimbulkan permusuhan
dan kebencian dalam masyarakat, maka UU ITE No. 11 Tahun 2008 tidak dapat
digunakan untuk menjerat Pers, karena Pers memiliki hak untuk
mendistribusikan informasi elektronik, sementara Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE
no. 11 Tahun 2008 mengacu pada 'tanpa hak'. Pers memiliki mekanisme
sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 secara
jelas diterangkan bahwa Pers memiliki kewajiban seperti menerima Hak Jawab dan
Hak Koreksi dari masyarakat. Pers juga memiliki kode etik jurnalistik, wartawan
tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul dan berkewajiban untuk
melakukan koreksi terhadap pemberitaan jika memang dipandang tidak
akurat/keliru. Jadi, UU ITE No. 11 tahun 2008 khususnya Pasal 27, 28 tidak
untuk kalangan Pers
12. Sembilan Peraturan Pemerintah dan
Dua Lembaga yang baru untuk UU ITE.
UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah
disahkan pada bulan April 2008, pelaksanaannya masih menunggu penerbitan 9
Peraturan Pemerintah dan pembentukan 2 (dua) lembaga yang baru yakni Lembaga
Sertifikasi Keandalan dan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
Peraturan
Pemerintah tersebut terdiri dari :
1. Lembaga sertifikasi keandalan
2. Tanda tangan elektronik
3. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik
4. Penyelenggaraan sistem elektronik
5. Penyelenggaraan transaksi elektronik
6. Penyelenggara agen elektronik
7. Pengelolaan nama domain
8. Tatacara intersepsi
9. Peran pemerintah
Selama
proses pembentukan Peraturan Pemerintah untuk UU ITE, Pemerintah perlu secara
intensif mendengarkan berbagai masukan dari masyarakat agar Peraturan
Pemerintah tersebut dapat diterapkan dengan efektif dan mendapatkan respon
positif dari masyarakat. Demikian pula, pelaksanaan UU ITE turut memperhatikan
kesiapan masyarakat, karena UU ITE merupakan payung hukum di Indonesia untuk
pertama kali dalam bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh
karena itu, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dan Instansi
yang terkait perlu intensif melakukan berbagai upaya, diantaranya Sosialisasi
UU ITE pada masyarakat termasuk kalangan kampus, peningkatan pengetahuan aparat
penegak hukum ttg UU ITE dan berbagai aspek dalam Hukum Telematika. Dua lembaga
yaitu Lembaga Sertifikasi Keandalan dan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
masing-masing diharapkan dapat berfungsi sebagai berikut:
1. Lembaga Sertifikasi Keandalan melakukan fungsi administratif yang mencakup
registrasi, otentikasi fisik terhadap pelaku usaha, pembuatan dan pengelolaan
sertifikat keandalan, dan membuat daftar sertifikat yang dibekukan. Setiap
pelaku usaha yang akan melakukan transaksi elektronik dapat memiliki Sertifikat
Keandalan yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan dengan cara mendaftarkan
diri. Lembaga Sertifikasi Keandalan akan melakukan pendataan dan penilaian
menyangkut identitas pelaku usaha, syarat-syarat kontrak dari produk yang
ditawarkan, dan karakteristik produk. Jika pelaku usaha lulus dalam uji
sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan maka akan memperoleh pengesahan
berupa logo trustmark pada homepage pelaku usaha yang menunjukkan bahwa pelaku
usaha tersebut layak untuk melakukan usahanya setelah diaudit oleh Lembaga
Sertifikasi Keandalan.
2. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik melaksanakan fungsi administratif mancakup
registrasi, otentikasi fisik terhadap pemohon, pembuatan dan pengelolaan kunci
publik maupun kunci privat, pengelolaan sertifikat elektronik dan daftar
sertifikat yang dibekukan. Setiap pihak yang akan melakukan transaksi
elektronik perlu memenuhi persyaratan minimum dalam UU ITE, singkat kata,
memerlukan tanda tangan elektronik dalam melakukan transaksi elektronik. Tanda
tangan elektronik ini akan lebih aman jika terdapat pihak ketiga selain para
pihak yang bertransaksi. Pihak ketiga tersebut adalah Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik dengan fungsi utama adalah menerbitkan Sertifikat Elektronik yang
memuat data pembuatan tanda tangan elektronik yang dikenal dengan ‘kunci
publik’ dan ‘kunci privat’. Pelaku usaha yang ingin mendapatkan Sertifikat
Elektronik untuk mendukung penggunaan tanda tangan elektronik dalam melakukan
transaksi elektronik dapat mengajukan permohonan kepada Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik. Lalu, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik akan
melakukan pendataan dan penilaian meliputi identitas pemohon, otentikasi fisik
dari pemohon, dan syarat lainnya. Setelah dinilai dan tidak ada masalah,
dilanjutkan dengan penerbitan Kunci Publik, Kunci Privat, dan Sertifikat
Elektronik. Dengan Sertifikat Elektronik yang dimiliki oleh para pihak yang
bertransaksi secara elektronik akan memberikan rasa aman dan meningkatkan
kepercayaan para pihak yang bertransaksi.
13. Beberapa Hal yang Terlewat Dan
Perlu Persiapan Dari UU ITE
Beberapa
yang masih terlewat, kurang lugas dan perlu didetailkan dengan peraturan dalam tingkat lebih rendah dari UU ITE
(Peraturan Menteri, dsb) adalah masalah:
·
Spamming,
baik untuk email spamming maupun masalah penjualan data pribadi oleh perbankan,
asuransi, dsb
·
Virus dan
worm komputer (masih implisit di Pasal 33), terutama untuk pengembangan dan
penyebarannya
·
Kemudian
juga tentang kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE. Amerika, China dan
Singapore melengkapi implementasi cyberlaw dengan kesiapan aparat. Child
Pornography di Amerika bahkan diberantas dengan memberi jebakan ke para
pedofili dan pengembang situs porno anak-anak
KESIMPULAN
Walaupun
terlambat, kehadiran aturan hukum baru tersebut dapat dilihat sebagai bentuk
respons pemerintah untuk menjerat orang-orang yang tidak bertanggung jawab
dalam menggunakan internethingga merugikan masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia. Menurut Menkominfo Muhammad
Nuh, sedikitnya ada tiga hal mendasar penyalahgunaan internet yang dapat
menghancurkan keutuhan bangsa secara keseluruhan, yakni pornografi, kekerasan,
dan informasi yang mengandung hasutan SARA.
Kalau UU ITE dilihat dalam perspektif penanggulangan penyalahgunaan
internet di atas, makasemestinya tak perlu ada pro dan kontra. Ini karena pada
dasarnya kehadiran UU itu untuk melindungi masyarakat dari kerugian dan
kehancuran akhlak yang akan berimplikasi pada kelangsungan hidupberbangsa dan
bernegara.Meski demikian, kehadiran perangkat hukum itu pun tidak secara
otomatis dapat menghentikan langkahpara hacker atau cracker.
Bahkan, boleh jadi perangkat hukum ini akan memancing keberanian mereka untuk
mencari titik-titik lemahnya sehingga mereka bisa terus melancarkan aksinya.
Kenyataannya, para pelaku cyber crime secara umum adalah orang-orang
yang memiliki keunggulan dan kemampuan keilmuan dan teknologi di bidangnya.
Sementara itu, kemampuan aparat untuk menangkalnya sungguh jauh dari kualitas
dari para pelaku kejahatan tersebut.
Semoga kehadiran UU ITE bisa menjadi payung hukum bagi aparat kepolisian
untuk bertindak tegas dan selektif terhadap berbagai jenis penyalahgunaan
internet. Dengan demikian, kehadiran UU ini tidak menjadi momok yang menakutkan
bagi pengguna dan mematikan kreativitas seseorang di dunia maya..
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment